NEWS


Kamis, 19 Agustus 2010

"Asem..." ujar Tuhan dalam hati.

A Great Day For Freedom
Pink Floyd
The Division Bell

On the day the wall came down
They threw the locks onto the ground
And with glasses high we raised a cry for freedom had arrived
On the day the wall came down
The Ship of Fools had finally ran aground
Promises lit up the night like paper doves in flight

I dreamed you had left my side
No warmth, not even pride remained
And even though you needed me
It was clear that I could not do a thing for you

Now life devalues day by day
As friends and neighbors turn away
And there's a change that, even with regret, cannot be undone
Now frontiers shift like desert sands
While nations wash their bloodied hands
Of loyalty, of history, in shades of grey

I woke to the sound of drums
The music played, the morning sun streamed in
I turned and I looked at you
And all but the bitter residues slipped away...slipped away



jam 5 pagi, saya lagi mencari lagu tidur yang pas buat menutup hari, saya melihat judul lagu ini, dan mendengarkan nya. Melihat judul dan lagunya saya berkesimpulan kalau lagu ini sungguh menenangkan sekaligus memenangkan, mungkin seperti menyambut fajar indah dikala semalaman telah kita habiskan untuk menuntaskan kemelut terberat dalam hidup.


Saya cek lirik nya di google, saya buka, saya tersentak. Ironis. Ternyata lagu ini miris. Semiris kehidupan kita di negara merdeka ini. Bukan tentang kemerdekaan Indonesia di bulan ini. Tetapi lebih kepada kemerdekaan yang dipunyai setiap negara di dunia ini. Terlintas kembali utopia saya akan nikmatnya berkelana lintas wilayah lintas negara, tanpa harus menyiapkan tetekbengek, katebelcce (saya tidak tahu artinya tapi terdengar pas untuk urusan surat – surat, paspor, visa,dsb), rekening tabungan, kredibilitas negara, intinya urusan kertas sampah yang mahal harganya. Tapi ya itulah, utopia saya, kebebasan berkelana menikmati semua suguhan Tuhan kepada kita manusia.


Bagi saya lagu ini menyimpan rasa cemas luar biasa di awal, tetapi syahdu di reffrain, dan berakhir cemas lagi. Persis seperti harapan kita di saat menunggu kemerdekaan, meraihnya, lalu merasa ada yang salah dengan kemerdekaan itu. Apa yang salah? Kemerdekaan tiap negara bagi saya adalah belenggu baru, sekaligus kabut baru yang menyesatkan kita akan kemerdekaan itu sendiri. Apalah artinya negara yang merdeka jika pada akhirnya kemerdekaan hanya dipetakkan dengan batas wilayah yang dibuat – buat. Batas laut, batas daratan, batas udara. Timbulnya prasangka – prasangka baru, arogansi baru, dosa – dosa baru yang sebelumnya tidak tertulis di kitab suci yang memang hanya saya baca selewat kalau ada kewajiban saja.


Memang dibutuhkan keseragaman tingkat peradaban dan tenggang rasa yang sangat tinggi,nyaris mustahil, untuk dapat membubarkan konsep negara, dan menjadikan dunia ini tanpa ke-bangsa-an, tapi bukan menjadikannya sebagai dunia dengan satu pemerintahan, yang saya ingin adalah dunia tanpa bangsa. Cuihhh!! Mustahil..dan asem rasanya. Mungkin se-asem perasaan Tuhan yang lagi geleng – geleng kepala, menyaksikan pemberian-Nya yang ciamik tidak seberapa di gubris oleh umat – umat Nya tercinta (yang sekarang mungkin lebih terpesona oleh bau amis lembaran uang di ATM).


J. Vanco

Selasa, 17 Agustus 2010

HORE!! KATANYA INDUSTRI MUSIK MENDEKATI "KIAMAT"

Fase ini memang sedikit banyak merugikan saya sebagai pekerja belakang layar di bidang musik, tapi toh tidak membuat saya akhirnya hidup berkesusahan karena saya masih bisa mendapatkan penghidupan sederhana nan layak yang sangat saya nikmati. Tetapi jujur saja, saya merasa beruntung dengan masuknya fase ini, karena justru lebih banyak saya temukan karya- karya yang dahsyat dan beberapa diantaranya malah dapat saya kategorikan menjadi sebuah mahakarya, dari musisi – musisi di seluruh dunia, dan bangsa Indonesia pada khususnya.

Fase “kiamat” menurut para pelaku industri musik dan media musik ini, justru merupakan fase “pencerahan” bagi saya. Dimana musik kembali pada fitrahnya, yaitu menjadi bagian besar dan bebas dari setiap individu penikmatnya, karena mereka dapat lebih bebas memilih musik yang memang pas dengan kepribadian dan selera mereka, semuanya tersedia di luar sana (atau di dalam komputer lebih tepatnya) lengkap dengan suguhan pertunjukan langsung (baca:live) di layar monitor.

Lalu, bagaimana nasib para musisi yang dengan susah payah dan setengah mati (mungkin tidak semuanya sampai se-niat ini) mengumpulkan biaya, waktu, pikiran, dan tenaga untuk melahirkan karya – karya nya. Memang jadi lebih susah mendapatkan keuntungan materi, dan itu kenyataan. Tapi apakah benar kalau sebelum fase ini mereka para musisi ini lebih mudah dalam memperkaya diri, mungkin iya bagi para musisi – musisi yang didukung oleh mesin promosi korporat, tapi bagi para musisi sejati yang benar – benar mempunyai misi dan kecintaan terhadap karyanya, saya rasa dari dulu sampai sekarang mereka tetap harus berpikir keras untuk mendapatkan keuntungan materi itu.

Di luar hal materiil yang didapat, sebenarnya nasib si musik dan musisinya ini seperti kembali ke era dimana musik hanya bisa dinikmati di plat piringan hitam, atau bahkan lebih lama sebelum itu. Dimana mereka harus menyuguhkan performa panggung yang bagus dan memorable agar menjadi disukai, lalu menjadi laku, dan setelah itu baru bisa mendapatkan kepuasan materi. Bagi para penikmat musik, tentu saja mereka semakin bahagia karena musisi kesukaan nya dapat dilihat secara langsung dan ber”dansa” bersama para penikmat yang lain. Dan semakin bagus penampilan musisi itu, harga tiket yang kadang menjadi mahal pun sudah bukan menjadi masalah lagi. Tidak semua musisi bisa menjadi seperti ini, dan ini termasuk seleksi alam yang saya suka, karena cepat atau lambat akan membunuh musisi karbitan yang oportunis dan berperilaku bagai ternak yang di gembala oleh tuan nya.

Faktor seleksi alam yang lain. Di era digital/internet, setiap seniman dapat dengan mudah mem-publikasi kan karyanya dengan gratis dan cepat, meski ada “rasa” yang hilang karena tidak dapat berinteraksi secara nyata. Tetapi bagi para seniman musik, ini bukan halangan untuk memamerkan portfolio sintetis nya, 1 lagu atau 5 album sekaligus bukan lah masalah, tentu saja bagi mereka yang tidak peduli dengan penjualan CD/kaset/apa saja itu bentuknya. Tetapi ini efektif untuk menyebarkan apapun itu propaganda dan misi dari seniman ini, karena sasaran nya pun luas nyaris tanpa batas, seluas usaha mereka mau menyebarkan karyanya. Hasilnya sering tidak terduga, mulai dari yang cuma pujian basa – basi di comment box nya sampai menjaring ratusan bahkan jutaan penggemar yang kadang sampai ke tahap fanatik, tetapi yang pasti ini adalah portal yang efektif untuk menjual musik anda. Karena dari sini anda dapat menjual kaos,topi,tas..merchandise lah, dan kalo memang musik anda layak untuk didengar atau bahkan diresapi isinya, siap -siap saja untuk mendapatkan tawaran – tawaran manggung yang kadang bisa sampai ke benua barat. Tidak semua musisi bisa menjadi seperti ini, dan ini termasuk seleksi alam yang saya suka, karena cepat atau lambat akan membunuh musisi karbitan yang oportunis dan berperilaku bagai ternak yang di gembala oleh tuan nya.

Album fisik yang (saat ini,umumnya) berupa CD pun mulai bergeser fungsinya, jika dulu sebagian besar orang membeli CD karena ingin mendengar lagu favoritnya, sekarang sepertinya CD lebih menjadi sebuah benda koleksi bagi pencintanya. Dalam hal ini, karya yang berkualitas, konsep yang kuat ditambah dengan karakter musisi dan musiknya itu sendiri yang menjadi pertimbangan layak atau tidaknya CD itu dikoleksi, setidaknya bagi saya. Terlebih – lebih apabila CD tersebut menjadi karya fenomenal penanda suatu era dan peristiwa, seperti mungkin album Dewa(memakai)19, Efek Rumah Kaca,dan banyak lagi. Ya, memang bagi saya dari dulu, membeli dan menikmati album musik itu seperti membaca buku, saya selalu berharap untuk dibawa ke dalam “dunia” yang dipaparkan dalam paduan bentuk suara,tulisan, gambar, syukur - syukur ada bonus video nya dalam paket yang disebut album ini. Dan jujur saja, semakin jarang saya menemukan album yang memenuhi syarat di atas, dan yang pasti bukan dari musisi karbitan yang oportunis dan berperilaku bagai ternak yang di gembala oleh tuan nya.

Saya sendiri sebagai musisi, masih berusaha keras untuk memenuhi standar yang saya pasang sendiri, dan apabila pada akhirnya tidak menghasilkan materi sedikitpun, paling tidak saya merasa mempunyai peranan dalam perluasan budaya musik ini. Dan apapun hasilnya, keadaan saya tetap, tidak berubah, masih menjadi ternak yang ber tuan kan “kebahagiaan hidup” dengan apapun yang bisa saya kerjakan dan sekaligus menikmati peran saya di masyarakat dengan ikhlas. Amin.

J. Vanco